Inget
posting gue yang kemaren kan? Yang gue emosi gara-gara buku sekolah dibikin jadi e-book, tapi nggak bener itu loh.
Nah, tadi pagi, sambil nungu jam ekskul gue, gue iseng baca koran KOMPAS yang baru terbit. Tiba-tiba, di bagian Humaniora, gue menemukan satu artikel yang sangat menyenangkan. Bukan, buakn artikel lucu atau tentang humor atau tentang PATD atau tentang Dani atau hal-hal yang membuat gue seneng lainnya. Tapi ini artikel tentang e-book sekolah itu. Kalo pake versi Indonesia nya disebut BSE (Buku Sekolah Elektronik).
Gue bakal ketik ulang artikel itu. Cuma karena gue lupa korannya ditaro dimana (gue calon penderita Alzheimer. GAWAATT!!), jadi gue copy-paste aja dari
Kompas Cetak. Kalo misalnya lo mau baca langsung dari site nya, bisa
klik disini.
***
Buku Elektronik Kurang Persiapan
Sekolah Menjual Buku Bakal Ditindak
Sabtu, 19 Juli 2008 01:27 WIB
Jakarta, Kompas - Kebijakan pemerintah untuk menekan harga buku pelajaran di sekolah, dengan membuat buku sekolah elektronik atau BSE, patut diapresiasi. Namun, kebijakan ini tidak efektif dalam pelaksanaannya karena kurangnya persiapan di banyak sektor.
Di sektor tenaga didik atau guru, misalnya, tidak ada pelatihan terlebih dahulu untuk belajar mengunduh buku elektronik. Begitu pun sarana komputer, belum tersedia di semua sekolah.
”Bahkan banyak sekolah yang belum terhubung dengan saluran telepon sehingga tidak bisa mengakses internet,” kata Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistyo di Jakarta, Jumat (18/7).
Kalaupun terhubung dengan saluran telepon, software-nya tidak memadai sehingga BSE tersebut tidak bisa diunduh.
”Biaya besar yang sudah dipersiapkan bagi buku sekolah elektronik menjadi tidak optimal,” kata Sulistyo.
Sebagai gambaran, pembelian hak cipta buku dan pembuatan buku digital dimulai pada tahun 2007 dan telah terdapat 49 judul buku yang disajikan di internet. Pada tahun 2008 ini, pemerintah berencana membeli sekitar 200 judul buku dengan harga hak cipta per buku Rp 100 juta hingga Rp 175 juta.
Karena sulit mengunduh BSE, akhirnya murid kembali membeli buku cetak. Akibatnya, guru menjadi korban karena citranya menjadi jelek sebagai penjual buku.
”Padahal, tidak selalu demikian. Banyak guru yang berniat baik dan berupaya agar murid mudah mendapatkan buku dengan harga murah,” ujarnya.
Ketua Federasi Guru Independen Indonesia, Suparman, mengungkapkan, sebagai upaya untuk menekan harga buku, adanya BSE patut diapresiasi. Namun, BSE dalam praktiknya tidak bisa diharapkan. Masih terdapat banyak kendala dalam memanfaatkan buku sekolah elektronik di lapangan.
”Jangankan di daerah, di Jakarta saja masih ada sekolah yang tidak punya perangkat telepon dan akses internet. Kalaupun sudah punya akses internet, e-book tidak dapat mengatasi persoalan tingginya biaya buku antaran karena e-book tidak cukup hanya dibaca dengan monitor, tetapi juga harus dicetak dan dibagikan ke murid. Tentu tetap ada biaya,” ujarnya.
Untuk itu, dia berpandangan, pemerintah tetap perlu memberikan subsidi buku pelajaran kepada sekolah.
Kalau pemerintah tetap mau mengandalkan buku sekolah elektronik, harus dimulai dengan memberdayakan para gurunya.
”Setidaknya dimulai dari upaya untuk memudahkan guru mengakses buku elektronik tersebut, misalnya, dengan memberikan pelatihan teknologi informasi dan komunikasi,” ujarnya.
Diberikan sanksi
Secara terpisah, Tim Pembinaan Aparatur dari Dinas Pendidikan Dasar DKI Jakarta akan memeriksa langsung sejumlah sekolah dasar dan sekolah menengah pertama negeri yang diduga menjual buku pelajaran pada tahun pelajaran 2008-2009. Pemeriksaan yang mulai diturunkan pada Kamis (17/7) akan memberikan laporan berita acara pemeriksaan pekan depan.
”Jika tim ini menemukan adanya pelanggaran, kami akan segera menetapkan sanksinya sesuai dengan tingkat kesalahan berdasarkan peraturan pegawai negeri sipil,” kata Kepala Subdinas Standardisasi dan Pengembangan Pendidikan Dinas Pendidikan Dasar DKI Jakarta Kamaluddin.
Kamaluddin mengatakan kekecewaannya kalau ternyata ada sekolah yang masih tetap menjual buku paket pelajaran. Padahal, kata Kamaluddin, jauh-jauh hari sebelumnya pihaknya sudah menyosialisasikan ke semua sekolah di wilayah DKI Jakarta mengenai buku paket pelajaran yang gratis.
Tim dibentuk menyusul adanya keluhan orangtua murid karena pihak sekolah menjual buku pelajaran di luar buku paket yang diberikan pemerintah melalui koperasi sekolah (Kompas, 17/7).
Kini banyak orangtua yang memilih membeli buku di luar sekolah karena harganya lebih murah meskipun untuk mendapatkannya tidak mudah karena tidak selalu tersedia di toko buku.
”Tahun lalu saja, saya beli paket buku pelajaran kelas satu di sekolah seharga Rp 305.000 untuk satu paket, terdiri dari 10 buku pelajaran. Ternyata harga di luar sekolah lebih murah,” kata orangtua murid.
”Teman anak saya beli di luar sekolah untuk buku pelajaran yang sama lebih murah. Selisihnya sampai Rp 102.000 satu paket buku pelajaran,” tutur orangtua murid itu. (INE/PIN/WER)
***
Akhirnya, ada juga yang sependapat sama gue. Menurut gue, buku aja udah MUAHHALL apa lagi buku yang diambil dari internet, terus di print. Lebih MUAAHHHAALL lagi.
Mestinya, kalo mau menjalankan program e-book ato BSE itu, di sekolah dipasang internet juga. Jadi anak-anak pada nggak repot kalau mau download buku ato cari tugas. Soalnya masih bisa berhubungan sama guru di lingkungan sekolah.
Atau yang lebih bagus lagi, biar semua senang riang dan bahagia, pasang proyektor di kelas! Maksud gue, jadi guru bisa ngajar online. Biar seusai sama kata dia, belajar lewat internet. Jadi kitanya juga ngerti, site apa yang harus dibuka kalau mau belajar tentang satu bab. Bagus ga ide gue? Hehehe.
Trus, pas lagi di jalan mau ke skul, gue ngobrol sama bokap. Soal internet. Dan tiba-tiba, gue mengusulkan buat pasang hotspot di sekolah. Dan yang terjadi selanjutnya sodara-sodara, BOKAP GUE SETUJU!!! Hahahaha,, suatu kebetulan yang hebat *lebay*.
Selanjutnya bakal gimana ya?
Labels: Me as student, News